Kamis, 27 Januari 2011

Rukshah


SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA’ DAN QASHAR


MAKNA DAN HUKUM QASHAR
Qashar adalah meringkas shalat empat raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua   rakaat.  (lihat   Tafsir   Ath   Thabari   4/244,   Mu’jamul   Washit   hal   738).  Dasar mengqashar   shalat   adalah   Al   Qur’an,   As   Sunnah   dan   Ijma’.  (lihat   Al   Mughni,   Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/165).Allah  Ta’ala berfirman:

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. an Nisaa’: 101).Dari   Ya’la bin   Umayyah   bahwasanya   ia   bertanya   kepada   Umar   Ibnul   Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’, padahal manusia telah aman?”. Sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang hal itu dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:  “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan  dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dg sanad yg shahih).
Dari   Ibnu   Umar   radhiallahu   ‘anhuma   berkata:  “Aku   menemani   Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua  raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau  tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat,  kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah  atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:


“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.””  (QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata   Anas   bin   Malik   radhiallahu   ‘anhu   :  “Kami   pergi   bersama   Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat  dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar   hanya boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian   boleh   melakukan   qashar   apabila   bepergiannya   bisa   disebut   safar   menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari  80   Km   agar   tidak   terjadi   kebingungan   dan   tidak   rancu,   namun   pendapat   ini   tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul   Qayyim   1/481,   Fiqhua   Sunnah,  Sayyid   Sabiq  1/307-308,  As   Shalah,   Prof.  Dr.  Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad.  (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu   ‘Alaihi   Wassalam   mengqashar   dalam   safarnya   melainkan   setelah   keluar (meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata   Anas   radhiallahu   ‘anhu:   “Aku   shalat   bersama   Rasulullah   Shalallahu ‘Alaihi   Wassalam   di kota   Madinah   empar   raka’at   dan   di   Dzul   Hulaifah   (luar   kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para   ulama   berbeda   pendapat   tentang   batasan   waktu   sampai   kapan   seseorang dikatakan  sebagai musafir dan diperbolehkan  mengqashar (meringkas) shalat.  Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para   ulama   lain   diantaranya   Syaikhul   Islam   Ibnu   Taimiyah,   Ibnul   Qayyim,   Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di,   Syaikh   Bin   Biz,   Syaikh   Utsaimin   dan   para   ulama   lainnya   rahimahumullah berpendapat bahwa   seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai   niatan   untuk   kembali   ke   kampong   halamannya   walaupun   ia   berada   di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya  Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).Nafi’   rahimahullah   meriwayatkan,   bahwasanya   Ibnu   Umar   radhiallahu   ‘anhuma tinggal di azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).
Dalil-dalil   diatas   jelaslah   bahwa   Rasulullah   Shalallahu   “alaihi   Wassalam   tidak memberikan batasan   waktu   tertentu   untuk   diperbolehkannya   mengqashar   shalat   bagi musafir selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan
tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).

SHALAT TATHAWWU’ / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’   bagi   musafir   yang   mengqashar   shalatnya,   baik   nafilah   yang   merupakan sunnah   rawatib   (qobliyah   dan   ba’diyah)   maupun   yang   lainnya.   Dalil   mereka   adalah bahwasanya Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam shalat delapan raka’at   pada hari penaklukan kota Makkah atau   Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar.  (HR. Bukhari ,Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disyari’atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan)   shalat   sunnah   rawatib   (qobliyah   dan   ba’diyah)   saja   ketika   safar,   dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang   (musafir)   yang   shalat   sunnah   rawatib   setelah   selesai   shalat   fardu,   maka beliaupun berkata:  “Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah  aku  akan  menyempurnakan  shalatku  (maksudnya  tidak   mengqashar).   Wahai saudaraku,    sungguh  aku   menemani  Rasulullah   Shalallahu   “alaihi   Wassalam   dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua  raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak  pernah menambah atas dua raka’at  sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman  radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. 
Dan   Allah   Ta’ala   telah   berfirman:   “Sesungguhnya   telah   ada   pada   diri   Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari.   Lihat   zaadul   Ma’ad,   Ibnul   Qayyim   1/315-316,473-475,   Fiqhus   Sunnah  1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/223-229. Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah /nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu’utlat   adalah   tidak   mengapa   dilakukan   dan   bahkan   tetap   disyari’atkan berdasarkan hadist-hadist shahih dalam hal ini.

JAMA’
Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar atau Maghrib   dg   Isya’)   dan   dikerjakan   dalam   waktu   salah   satunya.   Boleh   seseorang melakukan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. (lihat Fiqus Sunnah 1/313-317).
Jama’ Taqdim adalah mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan Isya dikerjakan   dalam   waktu   Maghrib.   Jama’   Taqdim   harus   dilakukan   secara   berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun Jama’ Ta’khir adalah menggabungkan  dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dab Isya’ dikerjakan dalam waktu Isya’.Jama’ Ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana   yang   dilakukan   oleh   Rasulullah   Shalallahu   ‘Alaihi   Wassalam.  (lihat Fatawa  Muhimmah,  Syaikh  Bin  Baz   93-94, Kitab  As   Shalah,  Prof. Dr.Abdullah  Ath Thayyar 177).
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus  tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan   saja.  (lihat   Taudhihul   Ahkam,   Al   Bassam   2/308-310   dan   Fiqhus   Sunnah 1/316-317).
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim),  turunnya  hujan  (HR. Muslim, Ibnu Majah dll),  dan orang sakit.  (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus  Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang   yang   mukim   boleh   menjama’   shalatnya   apabila   diperlukan   asalkan   tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika   ditanya   hal   itu   kepada   Ibnu   Abbas   beliau   menjawab:”Bahwa   Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).

MENJAMA’ JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alas an apapun-baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang  menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at  tidak   bisa  diqiyaskan   dengan  Dhuhur karena  sangat  banyak  perbedaan   antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka   tertolak.”(HR.   Bukhari   dan   Muslim).  Dalam   riwayat   lain:  “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi   kembali   pada   hukum   asal,   yaitu   wajib   mendirikan   shalat   pada   waktunya masing-masing  kecuali  apabila  ada dalil  yang  membolehkan  untuk menjama’  dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)

JAMA’ DAN SEKALIGUS QASHAR
Tidak   ada   kelaziman   antara   jama’   dan   qashar.   Musafir   disunahkan   untuk mengqashar   shalat   dan   tidak   harus   menjama’,   yang   afdhal   bagi   musafir   yang   telah menyelesaikan   perjalanannya   dan   telah   sampai   di   tujuannya   adalah   mengqashar   saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada   di   Mina   pada   waktu   haji   wada’,   yaitu   beliau   hanya   mengqashar   saja   tanpa menjama’  (lihat  Sifat  haji  Nabi Shalallahu  ‘Alaihi  Wassalam,  karya Al  Albani), dan beliau   Shalallahu   ‘Alaihi   Wassalam   pernah   melakukan   jama’   sekaligus   qashar   pada wkatu perang Tabuk.  (HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL Bassam 2/308-309 ).
Rasulullah   Shalallahu   ‘Alaihi   Wassalam     selalu   melakukan   jama’   sekaligus   qashar apabila   dalam   perjalanan   dan   belum   sampai   tujuan.  (As   Shalah   181.Pendapat   ini merupakan  fatwa   para  ulama  termasuk  Syaikh  Abdul   Aziz   bin  Baz).  Jadi  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedikit sekali menjama’ shalatnya karena beliau Shalallahu ‘Alaihi   Wassalam   melakukannya   ketika   diperlukan   saja.  (lihat   Taudhihul   Ahkam,   Al Bassam 2/308).

MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar   (dua   raka’at).   Hal   ini   didasarkan   atas   riwayat   yang   shahih   dati   Ibnu   Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya:”Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama   musafir)   maka   kami   shalat   dua   raka’at?”   Ibnu   ABbas   radhiallahu   anhuma menjawab:   “Itu   adalah   sunnahnya   Abul   Qasim   (Rasulullah   Shalallahu   ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan  Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).

MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai   (empat  raka’at),   namun   agar  tidak  terjadi  kebingungan   hendaklah  imam   yang musafir   memberi   tahu   makmumnya   bahwa   dia   shalat   qashar   dan   hendaklah   mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu   ‘Alaihi   Wassalam   ketika   berada   di   Makkah   (musafir)   dan   menjadi   imam penduduk   Makkah,   beliau   Shalallahu   ‘Alaihi   Wassalam   berkata:  “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR.Abu Dawud).
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan   sampai   empat   raka’at   setelah   beliau   salam.  (lihat   Al   Majmu   Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia   shalat   empat   raka’at   (tidak   mengqashar)   maka   tidaklah   mengapa   karena   hukum qashar adalah  sunnah mu’akkadah  dan bukan wajib.  (lihat  Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).

SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam  Syafi’i,  Ats Tsauriy,  Ishaq, Abu Tsaur, dll.  (lihat  AL  Mughni, Ibnu Qudamah 3/216,   Al   Majmu’   Syar   Muhadzdzab,   Imam   Nawawi   4/247-248,   lihat   pula   Majmu’  Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat  Jum’at  dan menggantinya  dengan shalat  Dhuhur yang  di jama’  dengan Ashar. (lihat   Hajjatun   Nabi   SAW   Kama   Rawaaha   Anhu   Jabir,   karya   Syaikh   Muhammad  Nasiruddin   Al   Albani   hal   73).  Demikian   pula   para   Khulafa’   Ar   Rasyidun   (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama  satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para   ulama)   yang   berdasar   hadist   shaihi   dalam   hal   ini   sehingg   tidak   diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).

Di ambil dari materi Kajian Majelis Taklim dan Dakwah “Husnul Khotimah” Masjid An Nut Jagalan Malang, pengasuh Al Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadromi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar